Alkisah,
di sebuah desa terpencil di daerah Kalimantan Barat, Indonesia, hiduplah
seorang janda tua dengan seorang putrinya yang cantik jelita bernama Darmi.
Mereka tinggal di sebuah gubuk yang terletak di ujung desa. Sejak ayah Darmi
meninggal, kehidupan mereka menjadi susah. Ayah Darmi tidak meninggalkan harta
warisan sedikit pun. Untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka, ibu Darmi bekerja
di sawah atau ladang orang lain sebagai buruh upahan.
Sementara
putrinya, Darmi, seorang gadis yang manja. Apapun yang dimintanya harus
dikabulkan. Selain manja, ia juga seorang gadis yang malas. Kerjanya hanya
bersolek dan mengagumi kecantikannya di depan cermin. Setiap sore ia selalu
hilir-mudik di kampungnya tanpa tujuan yang jelas, kecuali hanya untuk
mempertontonkan kecantikannya. Ia sama sekali tidak mau membantu ibunya mencari
nafkah. Setiap kali ibunya mengajaknya pergi ke sawah,
ia selalu menolak. ”Nak! Ayo bantu Ibu bekerja di sawah,” ajak sang Ibu. ”Tidak, Bu! Aku tidak mau pergi ke sawah. Nanti kuku dan kulitku kotor terkena lumpur,” jawab Darmi menolak.” "Apakah kamu tidak kasihan melihat Ibu, Nak?” tanya sang Ibu mengiba. ”Tidak! Ibu saja yang sudah tua bekerja di sawah, karena tidak mungkin lagi ada laki-laki yang tertarik pada wajah Ibu yang sudah keriput itu,” jawab Darmi dengan ketus.
ia selalu menolak. ”Nak! Ayo bantu Ibu bekerja di sawah,” ajak sang Ibu. ”Tidak, Bu! Aku tidak mau pergi ke sawah. Nanti kuku dan kulitku kotor terkena lumpur,” jawab Darmi menolak.” "Apakah kamu tidak kasihan melihat Ibu, Nak?” tanya sang Ibu mengiba. ”Tidak! Ibu saja yang sudah tua bekerja di sawah, karena tidak mungkin lagi ada laki-laki yang tertarik pada wajah Ibu yang sudah keriput itu,” jawab Darmi dengan ketus.
Mendegar
jawaban anaknya itu, sang Ibu tidak dapat berkata-kata lagi. Dengan perasaan
sedih, ia pun berangkat ke sawah untuk bekerja. Sementara si Darmi tetap saja
tinggal di gubuk, terus bersolek untuk mempecantik dirinya. Setelah ibunya
pulang dari sawah, Darmi meminta uang upah yang diperoleh Ibunya untuk
dibelikan alat-alat kecantikan ”Bu! Mana uang upahnya itu!” seru Darmi kepada
Ibunya. ”Jangan, Nak! Uang ini untuk membeli kebutuhan hidup kita hari ini,”
ujar sang Ibu. ”Tapi, Bu! Bedakku sudah habis. Saya harus beli yang baru,” kata
Darmi. ”Kamu memang anak tidak tahu diri! Tahunya menghabiskan uang, tapi tidak
mau bekerja,” kata sang Ibu kesal.
Meskipun
marah, sang Ibu tetap memberikan uang itu kepada Darmi. Keesokan harinya,
ketika ibunya pulang dari bekerja, si Darmi meminta lagi uang upah yang
diperoleh ibunya untuk membeli alat kecantikannya yang lain. Keadaan demikian
terjadi hampir setiap hari. Pada suatu hari, ketika ibunya hendak ke pasar,
Darmi berpesan agar dibelikan sebuah alat kecantikan. Tapi, ibunya tidak tahu
alat kecantikan yang dia maksud. Kemudian ibunya mengajaknya ikut ke pasar.
”Kalau begitu, ayo temani Ibu ke pasar!” ajak Ibunya. ”Aku tidak mau pergi ke
pasar bersama Ibu!” jawab Darmi menolak ajakan Ibunya. ”Tapi, Ibu tidak tahu
alat kecantikan yang kamu maksud itu, Nak!” seru Ibunya. Namun setelah didesak,
Darmi pun bersedia menemani Ibunya ke pasar. ”Aku mau ikut Ibu ke pasar, tapi
dengan syarat Ibu harus berjalan di belakangku,” kata Darmi kepada Ibunya.
”Memang kenapa, Nak!” tanya Ibunya penasaran. ”Aku malu kepada orang-orang
kampung jika berjalan berdampingan dengan Ibu,” jawab Darmi. ”Kenapa harus
malu, Nak? Bukankah aku ini Ibu kandungmu?” tanya sang Ibu. ”Ibu seharusnya
berkaca. Lihat wajah Ibu yang sudah keriput dan pakaian ibu sangat kotor itu!
Aku malu punya Ibu berantakan seperti itu!” seru Darmi dengan nada merendahkan
Ibunya.
Walaupun
sedih, sang Ibu pun menuruti permintaan putrinya. Setelah itu, berangkatlah
mereka ke pasar secara beriringan. Si Darmi berjalan di depan, sedangkan Ibunya
mengikuti dari berlakang dengan membawa keranjang. Meskipun keduanya ibu dan
anak, penampilan mereka kelihatan sangat berbeda. Seolah-olah mereka bukan
keluarga yang sama. Sang Anak terlihat cantik dengan pakaian yang bagus,
sedangkan sang Ibu kelihatan sangat tua dengan pakaian yang sangat kotor dan
penuh tambalan.
Di
tengah perjalanan, Darmi bertemu dengan temannya yang tinggal di kampung lain.
”Hei, Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya temannya itu. ”Ke pasar!” jawab Darmi
dengan pelan. ”Lalu, siapa orang di belakangmu itu? Apakah dia ibumu?” tanya
lagi temannya sambil menunjuk orang tua yang membawa keranjang. ”Tentu saja bukan
ibuku! Dia adalah pembantuku,” jawab Darmi dengan nada sinis. Laksana disambar
petir orang tua itu mendengar ucapan putrinya. Tapi dia hanya terdiam sambil
menahan rasa sedih. Setelah itu, keduanya pun melanjutkan perjalanan menuju ke
pasar. Tidak berapa lama berjalan, mereka bertemu lagi dengan seseorang. ”Hei,
Darmi! Hendak ke mana kamu?” tanya orang itu. ”Hendak ke pasar,” jawab Darmi
singkat. ”Siapa yang di belakangmu itu?” tanya lagi orang itu. ”Dia
pembantuku,” jawab Darmi mulai kesal dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Jawaban
yang dilontarkan Darmi itu membuat hati ibunya semakin sedih. Tapi, sang Ibu
masih kuat menahan rasa sedihnya.
Begitulah
yang terjadi terus-menerus selama dalam perjalanan menuju ke pasar. Akhirnya,
sang Ibu berhenti, lalu duduk di pinggir jalan. ”Bu! Kenapa berhenti?” tanya
Darmi heran. Beberapa kali Darmi bertanya, namun sang Ibu tetap saja tidak
menjawab pertanyaannya. Sesaat kemudian, Darmi melihat mulut ibunya komat-komit
sambil menengadahkan kedua tangannya ke atas. ”Hei, Ibu sedang apa?” tanya
Darmi dengan nada membentak. Sang Ibu tetap saja tidak menjawab pertanyaan
anaknya. Ia tetap berdoa kepada Tuhan agar menghukum anaknya yang durhaka itu.
”Ya, Tuhan! Ampunilah hambamu yang lemah ini. Hamba sudah tidak sanggup lagi menghadapi
sikap anak hamba yang durhaka ini. Berikanlah hukuman yang setimpal kepadanya!”
doa sang Ibu.
Beberapa
saat kemudian, tiba-tiba langit menjadi mendung. Petir menyambar-nyambar dan
suara guntur bergemuruh memekakkan telinga. Hujan deras pun turun. Pelan-pelan,
kaki Darmi berubah menjadi batu. Darmi pun mulai panik. ”Ibu...! Ibu... ! Apa
yang terjadi dengan kakiku, Bu?” tanya Darmi sambil berteriak. ”Maafkan Darmi!
Maafkan Darmi, Bu! Darmi tidak akan mengulanginya lagi, Bu!” seru Darmi semakin
panik.
Namun,
apa hendak dibuat, nasi sudah menjadi bubur. Hukuman itu tidak dapat lagi
dihindari. Perlahan-lahan, seluruh tubuh Darmi berubah menjadi batu. Perubahan
itu terjadi dari kaki, badan, hingga ke kepala. Gadis durhaka itu hanya bisa
menangis dan menangis menyesali perbuatannya. Sebelum kepala anaknya berubah
menjadi batu, sang Ibu masih melihat air menetes dari kedua mata anaknya. Semua
orang yang lewat di tempat itu juga ikut menyaksikan peristiwa itu. Tidak
berapa lama, cuaca pun kembali terang seperti sedia kala. Seluruh tubuh Darmi
telah menjelma menjadi batu. Batu itu kemudian mereka letakkan di pinggir jalan
bersandar ke tebing. Oleh masyarakat setempat, batu itu mereka beri nama Batu
Menangis. Batu itu masih tetap dipelihara dengan baik, sehingga masih dapat
kita saksikan hingga sekarang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar