Orang Miskin Dilarang Sakit?
Isak tangis Supiani terdengar kian
histeris. Perempuan paruh baya itu tak kuasa menahan air mata kehilangan
anaknya, Dedi Wahyono. Anak muda 21 tahun itu meninggal di pelataran
teras Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Depok, Selasa 12 Maret 2013.
Awalnya,
kata Supiani, anaknya tak enak badan. Mereka mengira hanya demam, dan
batuk biasa. Setelah dua hari, Dedi diperiksa ke klinik terdekat. Dari
situ, dia dirujuk ke RSUD Depok. Di rumah sakit itu, diagnosa penyakit
Dedi sangat serius: meningitis. Tapi ruang perawatan bagi pasien Jaminan
Kesehatan Daerah Kota Depok di Kelas III penuh.
Keluarga lalu
membawanya ke RS Harapan Depok. Sama saja, dia tak bisa dirawat dengan
alasan kamar, dan alat penunjang tak memadai. Pemuda itu sempat dibawa
ke RSUD Cibinong. Dirawat seadanya, kondisi Dedi pun kian parah.
Bermodal uang seadanya, dan ditemani awak media, keluarga kurang mampu
ini pun kembali membawa Dedi ke RSUD Depok.
Tapi nyawa Dedi tak
tertolong. Dia meninggal sesaat setelah tubuh kurusnya diturunkan dari
mobil, dan dibawa menuju ruang instalasi UGD memakai ranjang dorong.
Kepedihan Supiani kian dalam lantaran ia menjadi saksi buah hatinya yang
merupakan tulang punggung keluarga sempat mengalami penolakan di dua
RS.
“Anak saya ditolak di RS Harapan dengan alasan alatnya enggak
ada. Sebelumnya di RSUD Depok kami juga ditolak dengan alasan kamarnya
tak ada. Kami memang orang miskin, kami enggak punya apa-apa, kami juga
enggak punya Jamkesda,” ujar Supiani histeris sebelum akhirnya tumbang
tak sadarkan diri.
Peristiwa pahit seperti ini juga dialami
seorang bayi perempuan 3 bulan, Zahra Naveen, pada 19 Februari lalu.
Bayi mungil pasangan tidak mampu warga Beji ini tewas ketika orang
tuanya berjuang mendapatkan pelayanan operasi di salah satu rumah sakit
rujukan.
Dari baru lahir anak ini telah diagnosa memiliki sakit
jantung. Namun belum bisa dioperasi karena harus menunggu kondisinya
stabil. Belakangan, alasan Rumah Sakit berubah menjadi administrasi
kurang lengkap. “Karena Jamkesda over limit, sebab plafon biaya operasi
sebesar Rp100 juta, sedangkan biaya operasi Rp 200 juta. Kata pihak
Rumah Sakit harus ada jaminan, karena maksimal Jamkesda hanya Rp 100
juta," ucap ibunda Zahra, Prapti, dengan mata berkaca-kaca. Dia merasa
orang miskin dilarang untuk sakit.
Rumah Sakit Umum Daerah Kota
Depok, membantah telah menelantarkan pasien tidak mampu yang akhirnya
meninggal di pelataran RSUD Depok itu. Direktur RSUD Depok, Lies
Karmawati menjelaskan, dari hasil pemeriksaan petugas jaga, Dedi sudah
meninggal dalam perjalanan menuju rumah sakit.
"Saat tiba, semua
tanda respon kehidupan sudah tidak ada. Dokter menyatakan pasien itu
DOA atau Death on Arrival. Diduga meninggal di dalam perjalanan,"
katanya.
Lies membantah RSUD menolak Dedi, meski belum ada
perawatan medis khusus untuk pasien penderita kanker otak itu.
"Sebelumnya Dedi memang sempat dirawat di RSUD Depok dan dirujuk ke RSUD
Cibinong," katanya.
Sejak pemberlakukan Jamkesda oleh Pemerintah
Kota Depok sejak 2010, Lies menuturkan, RSUD Depok menerima lonjakan
pasien. Tahun 2011 mengalami peningkatan 10 persen dengan jumlah pasien
Jamkesda sebanyak 106.344 pasien.
Namun, hal itu tidak diimbangi
dengan peningkatan fasilitas guna mengantisipasi lonjakan jumlah pasien
itu. "Masih banyak kendala terkait pelayanan kami dalam hal fasilitas.
Seperti minimnya ruang perawatan, kurangnya fasilitas kasur, dan ruang
perawatan khusus," ujar Lies.
Tagihan per bulan ke Pemkot Depok,
Lies mengatakan bisa sampai Rp400 juta-Rp600 juta per bulan. Angka itu
jika dihitung rata-rata per tahun mencapai Rp7,6 miliar.
Kepala
Dinas Kesehatan Depok, Hardiono, menjelaskan pihaknya terus melakukan
upaya evalusi dan perbaikan program Jamkesda. Untuk anggaran APBD,
pihaknya mengaku telah menyiapkan sebesar Rp18 miliar per tahunnya.
"Jika pasien merasa tak cocok dengan jenis obat yang terlalu mahal bisa
dirujuk ke komite medis," kata Hardiono.
Dia menambahkan meski
perencanaan telah matang, namun kendala masih selalu ada di lapangan.
Diantaranya, lemahnya koordinasi pihak terkait antara lain RT dan RW.
"Kami harap partisipasinya terus ditingkatkan. Kami akan terus melakukan
pembenahan untuk mencapai kesempurnaan dalam memberikan pelayanan pada
masyarakat," ujarnya.
Soal jaminan pelayanan kesehatan sosial ini juga menjadi perhatian besar di sejunlah daerah, semisal di Aceh, dan Bandung.
Aceh
Ruang
rawat inap kelas III rumah sakit umum Zainoel Abidin Banda Aceh itu
terlihat sesak. Belum sampai ke ruangan saja, kita sudah disuguhi
pemandangan berjibunnya keluarga pasien yang selonjoran di lorong menuju
ruang.
Mereka mengelar tikar, kain, dan handuk sekedar
beristihat melepas penat menunggu keluarganya sedang dirawat. Tampak
warga duduk-duduk, sebagian lagi rebahan di lantai keramik yang sedikit
berdebu itu. Beberapa anak-anak dibawa orang tuanya bermain-bermain
sepanjang lorong itu.
Ruang rawat kelas III ini semuanya adalah
pasien yang mendapat perawatan melalui program Jaminan Kesehatan Aceh
(JKA). Jauh sebelum Jakarta menerapkan program kartu Jakarta Sehat, Aceh
sudah lebih dulu menjamin warganya berobat gratis di rumah sakit.
Desri
Yani (38), warga Lamteumen Timur, Banda Aceh, mengatakan program JKA
ini sangat membantu masyarakat. Dia pernah membawa ibunya yang menderita
pembengkakan jantung dan mengaku tidak harus membayar sepeser pun biaya
perawatan maupun obat dan juga mendapatkan layanan kesehatan.
“Misalnya
ketika kemarin butuh dirongent, periksa lab, kita bisa langsung akses
dan tidak dikenakan biaya dan bisa dilakukan malam itu juga,” katanya.
Menurutnya,
persoalan bagi pasien JKA adalah ruang rawat inap yang selalu
membludak. Hal itu membuat tidak nyaman baik bagi pasien maupun
keluarga. “Apalagi kalau ada pasien yang menjerit-jerit atau
muntah-muntah itu sangat membuat pasien yang lain ikut terganggu.”
Program
ini berlaku mulai 2010 dicanangkan Gubernur kala itu, Irwandi Yusuf.
Tujuannya agar semua masyarakat Aceh dapat berobat secara gratis di
rumah sakit.
“Animo masyarakat untuk berobat ke rumah sakit
semakin tinggi, jadi mungkin ini menjadi sesuatu yang positif bagi
promosi kesehatan. Kita juga harus membarengi itu dengan peningkatan
fasilitas kesehatan, hasil evaluasi terakhir persentase kunjungan itu
naik sekitar 50%,” kata Kepala Bagian Informasi dan Komunikasi Rumah
Sakit Zainoel Abidin, Banda Aceh, Rahmady, Selasa 13 Maret 2013.
Dana
JKA yang wajib dibayar Pemerintah Aceh kepada PT ASKES untuk
pelayanan JKA pada tahun 2010 (jangka waktu 7 bulan) adalah sebesar
Rp241,9 miliar. Pada 2011 anggaran meningkat menjadi Rp261 miliar dan
meningkat lagi pada tahun 2012 menjadi Rp420 miliar. Pada 2013 ini
pemerintah Aceh menganggarkan Rp419 miliar.
Humas program JKA
Dinas Kesehatan Aceh, Saifullah A. Gani, mengatakan sebenarnya program
JKA ini adalah pendidikan bagi masyarakat untuk mengubah cara masyarakat
yang selama ini membayar langsung kepada sistem asuransi. Tentunya juga
untuk menjamin agar masyarakat miskin mau berobat ke rumah sakit dan
tidak khawatir soal biaya.
“Setelah tiga tahun direncanakan JKA
ini berjalan, ini akan ada sharing. Jadi tidak semua orang lagi
diberikan jaminan kesehatan gratis dari pemerintah. Tetapi juga harus
ada sharing premi bagi mereka yang dianggap mampu,” ujarnya.
Saifullah
mencontohkan, pada awal-awal program ini berjalan, ada pasien yang
pindah kelas dengan menambah selisih biaya rawat inap.
Meski
program JKA dirasakan bermanfaat bagi rakyat Aceh dan dirancang dalam
masa pemerintahan Irwandi Yusuf, tidak lantas membuat mulus jalan
Irwandi Yusuf untuk kembali terpilih dalam pemilukada Aceh 2012 lalu.
Irwandi malah kalah dari pasangan yang diusung Partai Aceh, Zaini
Abdullah-Muzakir Manaf.
Sebagai catatan, kandidat yang kini
menduduki tampuk pemerintahan Aceh ini, juga menggunakan JKA sebagai
jualan kampanye. Mereka juga mengklaim karena usaha kader Partai Aceh
yang duduk di parlemen maka program JKA itu lahir.
“Meskipun
masyarakat melihat bahwa program ini membantu mereka, tapi mereka tidak
melilhat figurnya, tapi mereka melihat programnya Pemerintah Aceh yang
bermanfaat. Syukurlah, ketika perubahan pemerintahan terjadi, program
JKA juga tetap dilanjutkan,” kata Saifullah A Gani.
Menurut
Saifullah, menjamin pelayanan kesehatan bagi masyarakat adalah tugas
pemerintah. Setiap kebijakan pemerintah tentu produk politik. “Bahwa JKA
merupakan produk politik iya. Karena setiap kebijakan negara adalah
kebijakan politik. Tapi ini tidak merupakan produk politik praktis untuk
kepentingan-kepentingan jangka pendek,” ujarnya.
Bandung
Respons
beragam disampaikan warga Bandung menilai program serupa yang
dicanangkan Pemerintah Provinsi Jawa Barat. Doni (46), warga Cihapit,
Kecamatan Bandung Wetan, menuturkan setiap kali dia kontrol ke RSHS
karena penyakit diabetesnya, dia selalu membayar dana tambahan. "Saya
berani berobat, karena ada dana Jamkesda. Namun saat berobat menggunakan
Jamkesda setiap 2 bulan sekali saya tetap mengeluarkan dana tambahan
membayar obat," ujar Doni saat ditemui di ruang tunggu pendaftaran RSHS,
Rabu 13 Maret 2013.
Doni memaparkan jika obat-obat yang
diberikan Jamkesda kepada dirinya memang tergolong obat jenis generik.
"Bila kategori obat generik habis, saya suka dikasih obat bagus, namun
yaitu harus menambah uang untuk beli obat."
Beda halnya dengan
pasien yang dirawat inap, seperti dituturkan Riyadi, warga Pasir Impun,
Kota Bandung, yang mengalami asma dan harus tidur di ruang rawat inap
menyatakan, tak ada hal yang menyulitkan dalam mengurus dokumen di RS HS
terkait pasien warga miskin.
"Tak ada hal yang dibuat sulit. 3
hari lalu saya masuk ke RS. Diproses dengan baik, meski saya menggunakan
fasilitas Jamkesda," ujar Riyadi di ruang rawat inap kelas 3 RSHS.
Kabag
Humas dan Protokoler Rumah Sakit Hasan Sadikin, Tengku Djumala Sari,
mengatakan animo warga kurang mampu sangat besar sekali setiap tahunnya.
Menurutnya, di rumah sakit lain pun sama.
“Untuk warga kategori
kurang mampu ini, kita terima berdasarkan rujukan dari Dinkes kabupaten
kota, dan rujukan rumah sakit asal, baik berobat rawat jalan, ataupun
rawat inap," katanya kepada VIVAnews.
Untuk proses warga miskin
yang akan dirujuk ke RSHS, itu berdasarkan rujukan dari Dinkes Kota
Kabupaten, serta RS di daerah setempat. Harus ada rujukan, di mana
tahapannya terlebih dulu ke pelayanan kesehatan tingkat 1, yakni
Puskesmas, lalu ke tingkat 2 di RSU daerah. “Lalu ke tingkat 3, bila RS
di daerah dirasakan memerlukan rujukan ke RSHS yang masuk kategori
tingkat 3," katanya.
Menurutnya, penagihan RSHS ke pemda
Kabupaten/Kota di Jabar melalui Dinkes Jabar, bisa mencapai Rp1 milliar
tiap daerah. “Kita lakukan penagihan tiap tahun ke Dinkes Jabar, namun
plafon pengajuan bagi pasien Jamkesda disesuaikan kondisi keuangan
(APBD) di kabupaten/kota itu. Jamkesda klaim pagunya tergantung
daerahnya masing-masing. Misalnya 1 daerah yang daerahnya kaya bisa
satu pasien Rp10 juta, bisa berbeda dengan daerah miskin misalnya Rp1
juta per pasien rawat inap."
Kepala Dinas Kesehatan Jawa Barat,
Alma Lucyati, proses dana Jamkesda sudah diatur mekanismenya di Pemda
Kota dan Kabupaten di Jabar. Jamkesda kewenangan kota dan kabupaten.
“Kami dari provinsi mengajukan anggaran ke DPRD Provinsi, untuk
mekanisme dan penggunaannya yang lebih tahu pemda kota dan kabupaten."
Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan
menyatakan Pemprov Jabar menganggarkan sekitar Rp1,1 trilliun atau
sekitar 10 persen anggaran APBD Jabar untuk program ini. “Nantinya dana
tersebut diperuntukan untuk pembiayaan kesehatan masyarakat di Jabar,
termasuk pencegahannya,” kata Aher.
Sekadar kampanye politik?
Kebijakan
pelayanan kesehatan gratis ini memang tengah populer di sejumlah
provinsi dan kabupaten/kota. Menurut Peneliti Jamkesda dari Jaringan
Informasi Regional (Pattiro) Rohidin Sudiro praktik ini mulai marak pada
2008 sebagai realisasi janji kampanye kandidat saat kampanye pilkada.
Menurutnya,
hampir semua daerah di Jawa Tengah menerapkan program ini. Solo atau
Surakarta, Purbalingga, Semarang, dan Pekalongan sudah menerapkannya.
“2009 – 2010, banyak daerah lain menggunakan hal sama, Tangerang
misalnya menggunakan kartu multiguna, Sumatera Selatan juga semacam
itu,” ujarnya kepada VIVAnews.
Pria yang akrab disapa
Roy ini menjelaskan, selain realisasi janji kampanye program ini juga
bertujuan menyempurnakan kekurangan atau celah yang tidak tercover
program Jaminan Kesehatan Masyarakat (Jamkesmas) yang populer saat
Menteri Kesehatan dijabat Siti Fadilah Supari.
“Tapi dominan
menjadi isu politik yang dimainkan calon kepala daerah. Meskipun awalnya
lebih menutupi kekurangan program jamkesmas,” ujarnya.
Roy
kesulitan menyebut daerah yang bisa dikatakan berhasil dalam menjalankan
program ini. Menurutnya, implementasi program ini ada belum sepenuhnya
optimal. Meskipun sejumlah kelebihan tak bisa dipungkiri.
“Beberapa
daerah ada plus minusnya, kayak Purbalingga atau Solo masih bagus untuk
masalah pembiayaan mengakomodir kebutuhan kesehatan masyarakatnya.
Masalahnya adalah ketika peran puskesmas tidak dioptimalkan, sakit
sedikit langsung rumah sakit itu masalahnya, rumah sakit jadi penuh,”
kata Roy.
Dia percaya suatu saat kebijakan sejenis ini akan
menemukan format ideal. Tahun-tahun awal penerapan timbul masalah lumrah
saja. Fasenya ada tiga, yaitu, diterima masyarakat, pelayanan semakin
bagus, akhirnya masyarakat puas.
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Popular Posts
-
PENGGALANGAN DANA DAN BANTUAN BENCANA ALAM ERUPSI MERAPI YOGYAKARTA PANTI SATU ORGANIZER PENGGALANGAN DANA DAN BANTUAN BENCANA ...
-
KATA PENGANTAR Assalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh Dengan tak lupa mengucap puji dan puji syukur kehadirat Allah SWT, Tuhan Y...
-
PENGETAHUAN REMAJA TERHADAP SEKS DAN PENDIDIKAN SEKS Karya T ulis ini Dibuat untuk M emenuhi Tugas Mata Pelajaran Bahasa Indone...
-
Bendera negara asing Jelaskan perbedaan antara Treaty Contract & Law Making Treaties! Jawab: Berdasarkan sifat atau fungsinya p...
-
1.PENGERTIAN USAHA Usaha adalah besarnya g...
-
1. Expressing Satisfaction · Expressing Satisfaction: expressing good feeling; sense of comfort or happiness. ...
-
Perhatikan dua pasang kalimat berikut ini. The woman comes from Bandung. She lives next door. I bought a new book. The book was written ...
-
Sebenarnya Partai Komunis Indonesia (PKI) sudah lama meniupkan hawa perlawanan dan pemberontakan terhadap Indonesia. Kelompok ini b...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar