Sabtu, 09 Maret 2013

Kesatria Agung Penjaga Kota Suci


ilustrasi-mujahid
Ketenteraman Yerusalem musnah seketika. Negeri damai yang dibebaskan Umar Al-Faruq seperti terobek-robek. Selama 400 tahun orang-orang Yahudi, Nasrani, dan Islam hidup bersama dalam kedamaian. Pasalnya demi mengikuti ajakan Paus Urbanius II pada 27 November 1095 di Dewan Clermont, lebih dari 100.000 orang Eropa bergerak ke Palestina untuk “merebut” tanah suci dari orang Islam dan mencari kekayaan yang besar di Timur. Perjalanan panjang yang melelahkan seperti tak berarti bagi pasukan salib ini. Perampasan dan pembantaian mereka lakukan di sepanjang perjalanan yang mereka lalui. Mereka tiba di Yerusalem pada tahun 1099.
Kota ini jatuh setelah pengepungan hampir lima minggu. Ketika Tentara Perang Salib masuk ke dalam, mereka melakukan pembantaian yang sadis. Seluruh orang-orang Islam dan Yahudi dibasmi dengan pedang. Dalam catatan seorang ahli sejarah, “Mereka membunuh semua orang Saracen dan Turki yang mereka temui… pria maupun wanita.”
Salah seorang tentara Perang Salib, Raymond dari Aguiles, merasa bangga dengan kekejaman yang mereka lakukan sambil berkata, “Sungguh ini adalah pemandangan yang luar biasa untuk dinikmati. Beberapa orang lelaki kami (dan ini lebih mengasihi sifatnya) memenggal kepala-kepala musuh-musuh mereka; lainnya menembaki mereka dengan panah-panah, sehingga mereka berjatuhan dari menara-menara; lainnya menyiksa mereka lebih lama dengan memasukkan mereka ke dalam nyala api. Tumpukan kepala, tangan, dan kaki akan terlihat di jalan-jalan kota. Perlu berjalan di atas mayat-mayat manusia dan kuda. Tapi ini hanya masalah kecil jika dibandingkan dengan apa yang terjadi pada Biara Sulaiman, tempat di mana ibadah keagamaan kini dinyanyikan kembali… di biara dan serambi Sulaiman, para pria berdarah-darah disuruh berlutut dan dibelenggu lehernya.”
Dalam dua hari, tentara Perang Salib membunuh sekitar 40.000 orang Islam dengan cara tak berperikemanusiaan seperti yang telah digambarkan. Perdamaian dan ketertiban di Palestina, yang telah berlangsung semenjak Umar, berakhir dengan pembantaian yang mengerikan. Tentara Perang Salib menjadikan Yerusalem sebagai ibu kota mereka, dan mendirikan Kerajaan Katolik yang terbentang dari Palestina hingga Antakiyah.
Sudah menjadi catatan sejarah bahwa kekalahan kaum Muslimin dari pasukan Salib pada akhir abad 5 Hijriah, merupakan salah satu tragedi terbesar yang dialami umat Islam. Hal itu terjadi tidak lain karena kesalahan umat Islam sendiri. Jauh sebelum terjadi invasi pasukan Salib ini, kondisi umat Islam berada dalam keterpurukan, kemunduran dan kerusakan yang parah.
Para penguasa meninggalkan amanat yang diemban, kerusakan pemikiran dan kegilaan akan kemewahan serta kekuasaan. Bahkan mereka berlaku zhalim kepada rakyat. Gubernur Abu Nashr Ahmad bin Marwan, seorang gubernur ketika itu, mengucurkan anggaran 200.000 dinar dalam setiap acara hiburan yang digelarnya. Tahun 516 Hijriah, saat Menteri Sultan al-Mahmud terbunuh, istrinya keluar dari rumah dengan diiringi 100 pelayan dan kendaraan-kendaraan terbuat dari emas.
Padahal, pada saat yang sama, banyak rakyat yang menderita kelaparan. Orang-orang yang tidak berpunya terbelit kesulitan hidup yang luar biasa. Bahkan banyak di antara mereka yang sampai memakan anjing, kucing dan sesama manusia. Ada juga yang sampai memakan anak darah dagingnya sendiri demi mempertahankan hidup.
Para ulama pun banyak yang menjadi “ulama dunia” dengan mencari muka di depan para penguasa demi menuai simpati atau jabatan dan bahkan tidak jarang terjadi permusuhan dan saling menjatuhkan antar ulama. Ketika pasukan Salib membantai ribuan kaum Muslimin, sebagian ulama berusaha menggelorakan semangat jihad kaum Muslimin, tetapi gagal. Karena ruhul jihad sudah musnah dalam jiwa mereka. Belitan kehidupan hedonistik begitu sangat kuat.
Ada cerita yang menyebutkan, sebagian pengungsi membawa tumpukan tulang-tulang manusia, rambut wanita, dan anak-anak, korban kekejaman pasukan Salib, kepada khalifah dan para sultan. Ironisnya, para Sultan malah berkata: ”Biarkan aku sibuk dengan urusan yang lebih penting. Merpatiku, si Balqa’, sudah tiga hari menghilang dan aku belum melihatnya.” Demikian pula halnya keadaan orang-orang kaya yang bergelimang harta saat itu. Mereka lebih mementingkan hobby dan kesenangan mereka daripada membantu saudara-saudaranya yang miskin, tak berdaya serta terzhalimi.
Demikian kondisi saat itu seperti dijelaskan oleh DR. Madjid Irsan Al-Kilani dalam bukunya, Hakadza Zhahara J?ilu Shalahuddin wa Hakadza ’?dat al-Quds ~ Demikianlah bangkitnya generasi Shalahuddin dan demikianlah al-Quds kembali ke tangan Islam.
Singkatnya, ada arus penyimpangan kolektif yang dilakukan oleh berbagai lapisan umat setelah ditinggalkan oleh tiga generasi emas (shalafus shalih). Penyimpangan yang merambah semua kalangan umat baik pemerintah, ulama, tentara, kaum kaya dan masyarakat awam.
Hadirnya Sang Pembebas
Dalam buku Hamzah Abdullah, berjudul Shalahuddin Al Ayyubi, ‘Sang Pembebas Al-Aqsha’ menyebutkan bahwa Sultan Agung ini memiliki nama lengkap Shalahuddin Abul Muzhaffar Yusuf bin Amir Najmuddin Ayyub bin Syadzi bin Marwan bin Ya’qub ad-Duwini. Beliau lahir di Tikrit pada 532 H atau bertepatan dengan tahun 1137 Masehi. Ayahnya adalah Najmuddin Ayub yang mengabdi kepada Gubernur Seljuk, Imaduddin Zanky. Keberhasilan Najmuddin merebut wilayah Balbek di Lebanon menjadikan ia kemudian diangkat menjadi Gubernur untuk daerah Tikrit.
Di saat itulah Shalahuddin Al Ayubi diperkenalkan dengan dunia politik Timur Tengah dan strategi perang dalam lingkungan istana oleh Nuruddin, paman Shalahuddin Al Ayubi. Masa itu, Al-Quds (Jerusalem) dalam era perang salib masih dikuasai pasukan Salibis (Crusader) dari Eropa selama 88 tahun (1009 M-1187 M) tanpa perlawanan berarti dari umat Islam.
Sebagai anak pembesar istana, masa remaja Shalahuddin dihabiskan dengan waktu berfoya-foya dan mabuk-mabukan. Perubahan paling drastis saat Shalahuddin memasuki usia 20 tahun. Saat itu ia ditugaskan untuk mengatur muatan kapal di pelabuhan. Saat itulah Shalahuddin membuktikan kelihaiannya dan kesan sebagai seorang pemuda yang suka mabuk-mabukan hilang seketika. Shalahuddin mendapatkan penghargaan dan pujian atas keberhasilannya mengatur muatan kapal tersebut. Shalahuddin muda juga belajar kepada para ulama zamannya seperti Abu Thahir as-Silafi, al-Faqih Ali bin Binti Abu Sa’id, Abu Thahir bin Auf, dan lainnya.
Saat Mesir di bawah kekuasaan Dinasti Fatimiyah, Shalahuddin menemani pamannya Asaduddin Syirkuh yang diutus raja Syam. Mereka diutus raja Syam ke Mesir guna memerangi kaum Salibis yang membantu pemberontakan Syawur dan Dhargham terhadap Khalifah Fatimiyah. Pertempuran sengit pun terjadi dan kemenangan peperangan itu ada pada pasukan Asaduddin Syirkuh.
Kemelut politik yang terjadi di Mesir telah mengakibatkan seorang menteri Khalifah Fatimiyah terbunuh. Asaduddin diangkat menjadi menteri oleh Khalifah ‘Adhid menggantikan yang telah tewas dengan pertimbangan telah memenangkan perang terhadap pasukan Eropa. Tentunya, kejadian ini menjadi peristiwa yang sangat luar biasa mengingat Asaduddin merupakan golongan Sunni yang menjabat menteri di ke-khalifahan kaum Syiah.
Dua bulan setelah menjabat menteri di Mesir, Asaduddin yang telah lanjut usia pun meninggal. Prajurit Syam terpukul hebat. Seandainya para ulama tidak menengahi, pasukan Syam pasti akan membuat kerusuhan dengan cara berdemonstrasi dan tidak akan meninggalkan kuburan pemimpinnya hingga mereka tahu siapa yang diangkat menjadi pengganti setelah itu.
Seorang ulama al-Faqih Ali bin Binti Abu Sa’id yang dikenal dekat dengan Asaduddin dan Shalahuddin menengahi perebutan kekuasaan tersebut. Ia menunjuk Shalahuddin sebagai pengganti Asaduddin. Tiada yang bisa membantah penunjukkan ini kecuali Baruqi. Kabar terbentuknya kementerian Shalahiyah di bawah pimpinan Shalahuddin menyebar di kalangan orang Eropa. Karir politik Shalahuddin akhirnya mampu meruntuhkan Kekhalifahan Fatimiyah. Saat itu, Shalahuddin diangkat menjadi penguasa Mesir di bawah pengaruh negeri Syam.
Masa pemerintahan Shalahuddin diwarnai dengan peperangan melawan bangsa Eropa yang mengumandangkan perang salib di Timur Tengah. Bangsa Eropa yang dikenal sebagai Crussader berniat hendak menguasai Baitul Maqdis usai meninggalnya Raja Baldwin IV.
Baldwin IV sudah menjalankan perdamaian selama lima tahun. Setelah ia meninggal, Cybele menggantikannya dengan orang lain sebagai pemimpin di Al Quds. Menyikapi hal tersebut, pemimpin-pemimpin Eropa kemudian mengadakan perundingan yang diketuai oleh penguasa Baitul Maqdis. Di antara pemimpin yang hadir dalam acara itu adalah Renault de Chatillon yang masih menguasai Karak. Namanya dikenal oleh orang Arab dengan sebutan Arnat.
Pemimpin yang berkumpul itu menyusun strategi mengusir pemimpin besar Muslimin, Shalahuddin. Baldwin V tidak setuju dengan hal tersebut karena menurut dia, perundingan damai belum berakhir. Adalah Renault yang bersikukuh agar pasukan Eropa segera memerangi kaum Muslimin di bawah pimpinan Shalahuddin. Meskipun para pemimpin Eropa telah mengatur strategi militer sedemikian rupa, Shalahuddin sama sekali tidak mempunyai taktik apa-apa dalam masa damai tersebut. Dia masih menanti akhir masa damai dengan sabar.
Namun, kesabaran Shalahuddin kemudian hilang saat kafilah-kafilah kaum muslimin yang kembali dari haji melewati Karak, dihadang oleh Renault. Sebagian wanita ditawan dan seluruh harta mereka dirampas. Saat itu, Renault juga menghina agama Islam.
“Sekarang panggillah Muhammad untuk membuka penjara ini!”
‘Tentara Muhammad’ Pembebas Kota Suci
Hinaan Renault terhadap Rasulullah sampai ke telinga Shalahuddin. Seketika hatinya panas, darahnya menggelegak. Ia kembali bertekad membunuh pengkhianat itu dengan tangannya sendiri.
Shalahuddin pun mempersiapkan pasukan untuk menggempur pasukan Eropa yang dipimpin Renault de Chatillion. Shalahuddin mengumumkan jihad. Seketika seluruh prajurit muslim yang ada di Mesir dan Syria bergabung. Tidak ada perbedaan suku dan tujuan. Semuanya memiliki satu tujuan yaitu menyikat habis kaum salin dan membersihkan tanah Islam dari campur tangan mereka.
Pada peperangan tersebut, strategi pasukan salib yang dipimpin oleh Renault adalah menyerang wilayah-wilayah yang terletak dekat dengan posisi Shalahuddin.
Tujuan mereka sebagaimana diperintahkan oleh Renault adalah mendahului kaum muslimin untuk menguasai sumber mata air sebagai bekal minum di saat teriknya matahari. Maklum saja, saat peperangan itu berkecamuk musim panas belum berakhir.
Namun, rencana yang disusun itu telah diketahui oleh Shalahuddin. Wilayah yang hendak diserang sudah terlebih dahulu dihancurkan oleh pasukan muslim. Sumber mata air yang dimaksud sebagai bekal juga telah dijaga oleh kaum muslimin. Sementara pasukan salib terkepung di antaranya. Perang meletus. Pasukan salib kewalahan oleh pukulan kaum muslim dan dahaga di musim panas itu.
Prajurit salib pun akhirnya kacau balau. Mereka melarikan diri dari pertempuran termasuk pemimpinnya, Raymond. Padahal, pada saat itu pasukan muslim sama sekali tidak menyerang optimal dikarenakan tidak adanya komando dari Shalahuddin untuk menyerang pasukan salib di malam hari.
Seorang utusan pasukan muslim menghadap Shalahuddin. Ia mempertanyakan kenapa Shalahuddin tidak memerintahkan penyerangan akhir pada pasukan salib yang sudah kewalahan tersebut.
Kabar tersebut diterima Shalahuddin dengan mengerahkan seluruh pasukan muslim pada serangan pertama. Pasukan salib menjadi tidak berdaya. Mereka menghadapi kaum muslimin seraya mengundurkan diri ke daerah Hittin. Hittin adalah daerah tempat dimakamkannya Nabi Syu’aib as.
Sesampai di Hittin, pasukan salib mendirikan kemah besar yang sulit ditembus oleh kaum muslim. Kemah tersebut dipasangi salib besar yang terbuat dari kayu tua. Konon katanya Nabi Isa dibunuh di atasnya. Kayu itu dilapisi dengan mutiara dan intan, lalu kayu itu mereka jadikan bendera besar di setiap pertempuran yang dilancarkan atas nama agama mereka.
Pasukan muslim berjumlah besar telah berkumpul disekitar Hittin. Akhirnya mereka melancarkan serangan dan mampu memporak-porandakan tempat tersebut. Tidak terkecuali kemah besar yang dijadikan pusat komado tentara salib. Kemenangan gemilang berada di tangan kaum muslimin. Malam itu adalah 26 Rabiul Tsani tahun 583 Hijriyah. Ummat Islam menyambut kemenangan itu dengan doa, tahlil dan takbir.
Penyerangan di Hittin telah berhasil menangkap pembesar-pembesar Eropa. Diantaranya adalah Gaudefroy, suaminya Cibele penguasa Baitul Maqdis, Renault penguasa Karak, juga penguasa Dawiyah, penguasa Hospitaller, penguasa Ramla dan Husn Jabail (Giblet) serta anak penguasa Tiberia dan banyak lagi pembesar Eropa lainnya.
Sultan Shalahuddin kemudian memerintahkan penguasa Dawiyah dan Hospitaler dipancung. Hal ini karena menurut Shalahuddin mereka adalah sumber malapetaka negeri Arab dan daerah muslim.
Renault juga mengalami hal serupa. Dia diperintahkan berdiri di samping saudaranya Gaudefroy. Saat itu, Shalahuddin memerintahkan salah satu prajuritnya untuk mengambil air dingin dan menyodorkannya pada Gaudefroy, penguasa Baitul Maqdis. Gaudefroy kemudian memberikan sedikit air dalam gelas itu pada saudaranya Renault. Melihat hal itu, Shalahuddin berkata pada penterjemahnya; “Katakan pada Gaudefroy bahwa kamulah yang memberi minum saudaramu, sedangkan saya tidak memberikannya..!”
Adat kaum Arab, apabila seorang tawanan diberikan makan dan minum oleh orang yang menawannya, maka akan terlepas dari ancaman. Itulah yang diberikan pada Gaudefroy namun tidak untuk Renault.
Sultan telah memperingatkannya tentang ucapan-ucapan keji yang pernah dilontarkan Renault pada Nabi Muhammad saw. Kemudian Shalahuddin berkata pada Renault, ”Inilah saya pembela Muhammad..!”
Sultan menawarkan kepada Renault dua kalimat syahadat. Namun ia menolaknya. Shalahuddin kemudian mencabut pedang lalu menebas leher salah satu pembesar Eropa tersebut. Setelah kepalanya terlepas dari badan, kepala itu dilemparkannya ke pintu kemah. Selesai sudah usaha untuk memelihara kemuliaan Islam dan Muslimin.
Melihat nasib saudaranya, Gaudefroy menjadi gemetar. Dia belum yakin kalau Shalahuddin akan membiarkannya hidup. Sultan lalu memanggilnya dan menenangkannya.
“Tidak pernah terjadi seorang raja membunuh raja. Tetapi ini sudah melampaui batas. Dia menghina Nabi kami, Muhammad saw. Kami sudah bernazar seandainya Allah memberikan kekuatan kepada kami untuk membunuhnya. Terjadilah apa yang terjadi…!
Subhanallah…Begitulah sejarah mengalirkan dirinya sebagai sunnah at-tadawwul (hukum perubahan) bagi manusia. Maka sekitar 90 tahun kemudian, Allah menghadirkan Shalahuddin Al-Ayyubi yang memimpin pasukannya merebut Hitthin sebaga pembuka jalan untuk merebut Palestina kembali. Apa gerangan yang terjadi? Apakah Shalahuddin Al-Ayyubi seorang utusan langit yang datang begitu saja untuk menyelamatkan umat? Apakah Shalahuddin seorang pahlawan tunggal yang berjuang sendirian dan mengandalkan segala keistimewaan pribadinya? Jawabannya tentu tidak. Sejak awal Shalahuddin “hanya” seorang anak didik Nuruddin Zanki yang sudah menyiapkan mimbar baru untuk Masjidil Aqsha jauh sebelum itu.
Di sisi lain, sejarah tidak mungkin melupakan karya dan peran signifikan sejumlah ulama dan tokoh umat Islam yang hidup dalam kurun waktu tersebut, seperti Al-Ghazali, Abdul Qodir al-Jilani, Ibnu Qudamah al-Maqdisi dan sederetan nama lainnya yang berhasil melakukan perubahan radikal pada paradigma pemikiran dan pendidikan umat. Mereka berhasil mengikis virus-virus yang menggerogoti imunitas internal umat berupa hegemoni filsafat, aliran kebatinan, dikotomi fiqih dan tasawuf, mazhabisme dan lain-lainnya, sebelum melahirkan sebuah generasi baru yang mengimplementasikan nilai-nilai nilai-nilai Islam dan mengusung panji kejayaannya saat berhadapan denan lawan-lawannya.
Shalahuddin hanya seorang juru bicara resmi dari sebuah generasi yang telah mengalami proses penggodokan dan perubahan. Sebuah generasi yang telah berhasil melampaui kesalahan-kesalahan masa lalu yang ditorehkan oleh para pendahulunya.
Dunia Islam tidak akan pernah melupakan apa yang telah diperjuangkan oleh Shalahudin untuk membebaskan Jerusalem dari tangan para penzhalim. Dengan gagah dan tidak takut mati, ia melancarkan serangan-serangan militer maupun non-militer pada kaum penjajah tersebut, serta mengajak seluruh umat Islam untuk bersatu melawan mereka.
Dengan penaklukan-penaklukan yang ia lakukan, Islam menjadi bangga, dan dengan kemenangan-kemenangannya, hari-hari berikutnya menjadi cahaya bagi umat, sebagaimana digambarkan dalam syair Al-’Imad Al-Ashbahani :
Dengan penaklukanmu, Islam menjadi bangga, dan dengan kemenanganmu, hari-hari menjadi bercahaya.
Anda mempersembahkan kekuatan dan harapan kepada dunia dan agama.
Anda telah menyempurnakan futuhat dengan merebut Jerusalem.
Teruslah melakukan penaklukan agar sistemnya tetap berlanjut dan jadilah seorang Muslim untuk membuat kemenangan Islam.
Mengambil Hikmah Kemenangan
Shalahudin Al Ayyubi menginfakkan dirinya sepenuhnya untuk membebaskan Jerusalem. Tiada hari ia lalui tanpa berfikir siang dan malam untuk bisa menggapai kemenangan Islam. Bahkan seringkali tidak ada waktu untuk sekedar makan, karena begitu perhatiannya untuk Jerusalem, hingga akhirya kemenangan itu ia dapatkan di perang yang menentukan, yakni perang Hittin.
Namun, ada beberapa sebab dan pendahuluan kemenangan ini. Kita semestinya tidak lupa bahwa sebab dan pendahuluan sebenarnya yang mengantarkan umat Islam pada kemenangan itu bukan berasal dari diri Shalahudin. Akan tetapi, sebab itu adalah hasil dari mengikuti jalan yang telah di contohkan oleh Rasulullah saw. pada perang Badar dan Ahzab serta peristiwa penaklukkan Mekkah.
Lalu, apa rahasia dan sebab-sebab kemenangan yang diraih Shalahudin dan umat Islam ketika itu?
1. Bertakwa kepada Allah dan menghindari kemaksiatan
Dengan bertakwa kepada Allah dan menghindari kemaksiatan, maka itu meningkatkan spiritual pada setiap pasukan. Sehingga ia meminta perlindungan dan kemenangan serta menaruh semua harapan hanya kepada Allah swt. Ini adalah langkah pertama menuju kemenangan dan ini adalah tanda-tanda akan datangnya berita gembira.
Selain itu, Allah tidak akan membiarkan begitu saja pasukan mukmin yang bergantung kepadan Nya dan melaksanakan perintah-perintah Nya sesulit apapun keadaannya dan sebesar apapun konspirasi musuh atas umat Islam. Apabila pasukan Islam mengalami kesulitan mendapatkan bantuan perlengkapan duniawi, Allah akan memberi bantuan kepada mereka dari langit. Allah akan melemparkan rasa takut kedalam hati musuh-musuh mereka dan memberi mereka kemenangan dari arah yang tidak disangka.
2. Persiapan penuh dan fokus terhadap masalah pembebasan Jerusalem
Para sejarawan sepakat bahwa Shalahudin sangat menaruh perhatian terhadap pembebasan Jerusalem. Hal itu menyita waktu dan istirahatnya. Hatinya sangat merindukan kebebasan Jerusalem. Dia bahkan tidak bisa merasakan ketentraman dan ketenangan sebelum Jerusalem terbebaskan dari tangan-tangan kaum penjajah. Bagi Shalahudin, pendudukan Jerusalem adalah perkara penting yang tidak mampu dipikul oleh gunung.
Teman dekat Shalahudin, Al Qadhi Baha’uddin, menggambarkan keadaan Shalahudin ketika mengajak dan mendorong umat Islam untuk berjihad di jalan Allah melawan pasukan Salib, “Shalahudin bagaikan ibu yang kehilangan anaknya. Dia menunggangi kuda dari satu tempat ke tempat lainnya untuk mendorong orang-orang untuk berjihad. Dia berkeliling ke daerah-daerah dan menyeru umat Islam untuk berkorban untuk Islam, sedangkan kedua matanya meneteskan airmata. Dia selalu disibukkan dengan urusan jihad. Tiada yang dia bicarakan kecuali urusan jihad. Tiada pula yang dia perhatikan kecuali menyediakan sarana dan pasukan untuk berjihad. Dia hanya tertarik kepada orang yang mengingatkan dan mendorongnya untuk berjihad”.
Demikian gambaran bahwa Shalahudin menaruh seluruh jiwa dan raganya untuk kepentingan umat yang sedang di jajah. Ia tidak terlena oleh kefanaan dunia sebagaimana kebanyakan umat Islam pada zamannya. Ia menyeru umat Islam untuk bersatu, melawan kedzaliman dan kebathilan yang sedang terjadi.
Perhatiannya kepada persiapan militer dan penyiapan sebab-sebab kekuatan materi sama dengan perhatiannya pada persiapan spiritual dan moral. Diantaranya adalah membentuk berbagai pasukan khusus di antara tentaranya. Tidak hanya pasukan darat saja, namun juga pasukan armada laut. Bahkan ia mendirikan dewan khusus untuk mengatur penghasilan dan penggunaannya serta mengawasi urusan armada.
Setelah persiapan dan perhatian yang penuh ini, dia menyerang musuhnya dengan keimanan yang kuat dan tekad yang jujur. Musuhpun mundur dan kalah.
3. Kesatuan politik negeri-negeri Islam
Setelah kematian khalifah Fathimiyah, maka Shalahudin naik menjadi Sultan Mesir. Dia meluaskan kerajaannya dengan menaklukkan Nubia (negeri selatan Mesir), Yaman, dan Hijaz. Laut merah dan sekitarnya berada dalam kontrolnya. Dia juga menyatukan Syria, setelah Nurudin Zanki (penguasa Syria) meninggal dunia dan kekacauan melanda negeri tersebut. Begitupun Damaskus, Aleppo dan kota-kota lainnya ia gabungkan kedalam kerajaannya. Dengan demikian terbentuklah kesatuan negeri-negeri Islam yang mencakup Irak Utara (Kurdistas), Syria, Yaman, Mesir, Barqah dan negara-negara kecil lainnya.
Tidak diragukan bahwa pembentukan kesatuan ini dan penguatan pilar-pilarnya mempunyai pengaruh besar dalam membebaskan Jerusalem. Ketika negeri-negeri Islami dan politik yang dipimpin oleh seorang pemimpin yang mukmin, pahlawan yang berpengalaman, komandan yang pemberani, sultan yang terlatih, dan amir yang ikhlas, maka kemenangan pasti akan diraih oleh umat Islam. Panji kemuliaan Islam pun akan berkibar di seluruh negeri Muslim. Itulah yang mampu dilakukan oleh Shalahudin Al Ayyubi. Dia berhasil mengalahkan pasukan salib, mengusir para penyerbu yang bengis, dan membebaskan Masjid Al Aqsha dari tangan-tangan para durjana.
4. Tujuan berperang adalah meninggikan kalimat Allah
Dalam manhaj Islam, sebelum berangkat ke medan perang, seorang mujahid harus terlebih dahulu membersihkan niatnya. Ia tidak boleh meniatkan perang untuk mendapatkan ghanimah (hasil rampasan perang), reputasi, fanatisme ataupun riya’. Dia harus mengikhlaskan niat karena Allah swt. semata dan untuk mendapatkan keridhaan Nya. Dalam sebuah hadits nabi Muhammad saw. ditanya mengenai orang yang berperang karena berani, fanatisme golongan, dan riya’. Siapakah di antara mereka yang berada di jalan Allah? Beliau menjawab, “Barangsiapa berperang untuk meninggikan kalimat Allah, maka dia berada di jalan Allah”. (Hadits shahih yang diriwayatkana oleh Bukhari dan Muslim)
Shalahudin Al Ayyubi terjun berperang untuk meninggikan kalimat Allah ini. Banyak bukti-bukti yang dituliskan oleh sejarawan tentang niat Shalahudin dalam jihad ini. Salah satu buktinya adalah, bahwa pada setiap kesempatan setelah usai peperangan, ia selalu memperlakukan tahanan perangnya dengan perlakuan yang baik. Bahkan tidak jarang ia mengeluarkan pajak tahanan dari kantongnya sendiri untuk bisa membebaskan tahanan-tahanan perang yang ada, khususnya kaum perempuan, anak-anak dan orang-orang tua. Ia tidak memperlakukan tahanannya seperti perlakuan tentara Salib terhadap umat Islam, dimana digambarkan bahwa anak-anak, ibu-ibu dan orang-orang tua yang menjadi tahanan mereka, dibunuh secara membabi buta, sampai warna sungaipun berubah menjadi darah. Ini adalah bukti, bahwa ketulusan hati Shalahudin Al Ayyubi berperang adalah semata-mata karena Allah swt., bukan karena nafsu atau dengki, atau hal-hal lainnya.
5. Pembebasan adalah masalah Islam dan kaum Muslimin
Syariat Islam menyatakan bahwa apabila orang-orang kafir menduduki negeri kaum Muslim, maka semua orang Muslim wajib bersatu untuk membebaskan negeri yang dijajah dari cengkeraman musuh dan orang-orang kafir. Allah swt. berfirman dalam Al Quran surat At Taubah ayat 39 : “Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudharatan kepada-Nya sedikitpun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu. ”
Selanjutnya Allah swt. juga berfirman dalam ayat 41 surat At Taubah,”Berangkatlah kamu baik dalam keadaan merasa ringan maupun berat, dan berjihadlah kamu dengan harta dan dirimu di jalan Allah. Yang demikian itu adalah lebih baik bagimu, jika kamu mengetahui.”
Berdasarkan prinsip di atas, maka Shalahudin mengumpulkan semua kaum muslimin di seluruh wilayah kekuasaannya dan menyeru mereka untuk menghentikan kejahatan pasukan Salib yang mengotori kesucian Jerusalem. Demikianlah pasukan Shalahudin terbentuk dan tersusun rapi yang terdiri dari umat Islam yang mengimani Rabb nya, Rasul sebagai suri tauladannya, Al Quran sebagai pedomannya, jihad sebagai semangat berjuangnya, dan syahid di jalan Allah sebagai cita-citanya yang tertinggi.
Demikian perjuangan Shalahudin al Ayyubi demi menegakkan kalimat Allah dan membebaskan bumi Jerusalem. Kiranya kita semua bisa menjadikan perjuangan Shalahudin sebagai contoh dan tauladan yang baik. Mudah-mudahan Allah swt. melimpahkan shalawat serta salam kepada baginda Rasulillah Muhammad saw., para sahabatnya, dan para tabiin hingga akhir zaman.
(Aidil Heryana-www.dakwatuna.com)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Popular Posts

Twitter Update

Translate

EnglishFrenchGermanSpainItalianDutch

RussianPortugueseJapaneseKoreanArabic Chinese Simplified

Cari Blog Ini